Rabu, 20 Maret 2013

Pembatal Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa

Pembatal Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa


Pembatal Puasa
Di antara rukun puasa adalah meninggalkan segala sesuatu yang membatalkannya dari terbit fajar (mulainya waktu shalat shubuh) sampai tenggelamnya matahari, di samping berniat di malam hari sebelum fajar untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Maka di sini akan dibahas hal-hal yang dapat membatalkan dan merusak puasa seseorang, yaitu:

1. Makan dan Minum dengan Sengaja
Allah berfirman:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامِ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah:187)
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْمَعَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhariy no.1831 dan Muslim no.1155)
Dan juga sabdanya:
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِيْ: اَلْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَااسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Allah meletakkan (tidak menghukum) ummatku karena salah atau lupa atau karena dipaksa.” (HR. Al-Hakim 2/198, Ad-Daraquthniy dari Ibnu ‘Abbas dan sanadnya shahih)
2. Keluar Darah Haidh dan Nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘A`isyah:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah kami mengalami hal itu (yaitu haidh), maka kami diperintahkan untuk mengqadha` puasa dan tidak diperintahkan mengqadha` shalat.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Melakukan Jima’ (Hubungan Suami Istri) di Siang Hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur`an, As-Sunnah dan kesepakatan para ‘ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara berturut-turut, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin.
Jumhur ‘ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (mengqadha`) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan bahwa puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka puasa itu masih menjadi tanggungannya.
Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Adapun apabila seseorang melakukan hubungan suami-istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ‘ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha` dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ
“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha` atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqiy 4/229, Ibnu Khuzaimah 3/1990, Ad-Daraquthniy 2/178, Ibnu Hibban 8/3521 dan Al-Hakim 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthaar mencakup makan, minum dan bersetubuh (jima’). Inilah pendapat jumhur ‘ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukaniy.
4. Suntikan yang Mengandung Makanan
Yaitu suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasa, karena nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.
Gambarannya adalah menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makanan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang berpuasa. Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalkan puasa.
Hal-hal yang Diperbolehkan bagi Orang yang Berpuasa
1. Bersiwak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika aku tidak memberatkan ummatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak wudhu`.” (Muttafaqun ‘alaih) Dan dalam lafazh lain: “setiap hendak shalat.”
Ini berlaku untuk siwak. Adapun pasta gigi maka berbeda dengan siwak. Jika dikhawatirkan ketika memakai pasta gigi di siang hari akan terasa rasa pasta giginya atau khawatir tertelan maka sebaiknya dihindari.
2. Masuknya Waktu Fajar dalam Keadaan Junub
Hal ini berdasarkan hadits ‘A`isyah dan Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah berjima’ dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaqun ‘alaih)
3. Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung, Asalkan Tidak Berlebihan
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung ketika wudhu`) kecuali bila kalian dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Dawud 1/132, At-Tirmidziy 3/788, An-Nasa`iy 1/66 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy)
4. Menggauli Istri selain Jima’
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘A`isyah:
“Adalah Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau bepuasa dan menggaulinya (tetapi bukan jima’) dalam keadaan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah bersabda:
“(Orang yang berpuasa) itu meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (HR. Muslim)
Dan beliau juga bersabda:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidziy dan An-Nasa`iy, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa`)
5. Mencicipi Makanan dan Menciumnya, Asalkan Tidak Masuk ke dalam Kerongkongannya
Berkata Ibnu ‘Abbas:
“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhariy secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah 3/47 dan Al-Baihaqiy 4/261, hadits ini hasan, lihat Taghliiqut Ta’liiq 3/151-152)
6. Mandi di Siang Hari Ramadhan
Al-Imam Al-Bukhariy menyatakan dalam kitab Shahihnya: “Bab Mandinya orang yang puasa”. Dan ‘Umar membasahi bajunya kemudian memakainya ketika dia dalam keadaan puasa. Asy-Sya’biy masuk kamar mandi dalam keadaan berpuasa.
Al-Hasan berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan berpuasa karena haus atau kepanasan. (HR. Abu Dawud no.2365, Ahmad 5/376, 380, 408, 430, sanadnya shahih)
7. Bercelak, Memakai Tetes Mata dan Lainnya yang Masuk ke Mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokkan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiiqatush Shiyaam dan murid beliau yaitu Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’aad.
Al-Imam Al-Bukhariy berkata dalam Shahihnya: “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashriy dan Ibrahim An-Nakha’iy memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa.” (Fathul Baarii 4/153 hubungkan dengan Mukhtashar Shahih Al-Bukhariy 451 karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan Taghliiqut Ta’liiq 3/151-152)
8. Menggunakan Suntikan yang Tidak Berkedudukan Sebagai Penggati Makanan
Maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafazh maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (Lihat Fataawaa Islaamiyyah)
Akan tetapi sebaiknya orang yang sakit berbuka supaya tidak terjatuh ke dalam perkara yang syubhat.
9. Berbekam
Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas:
“Sesungguhnya Nabi berbekam, padahal beliau sedang berpuasa.” (HR. Al-Bukhariy dalam Fathul Baarii 4/155 lihat Naasikhul Hadiits wa Mansuukhuh 334-338 karya Ibnu Syahin)
Wallahu A’lam.




Mimpi Basah Ketika Puasa

Ada sebuah pertanyaan yang diajukan pada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah “Jika orang yang berpuasa mimpi basah di siang hari bulan Ramadhan, apakah puasanya batal? Apakah dia wajib untuk bersegera untuk mandi wajib?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Mimpi basah tidak membatalkan puasa karena mimpi basah dilakukan bukan atas pilihan orang yang berpuasa. Ia punya keharusan untuk mandi wajib (mandi junub) jika ia melihat yang basah adalah air mani. Jika ia mimpi basah setelah shalat shubuh dan ia mengakhirkan mandi junub sampai waktu zhuhur, maka itu tidak mengapa.
Begitu pula jika ia berhubungan intim dengan istrinya di malam hari dan ia tidak mandi kecuali setelah masuk Shubuh, maka seperti itu tidak mengapa. Mengenai hal ini diterangkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk Shubuh dalam keadaan junub karena sehabis berhubungan intim dengan istrinya. Kemudian beliau mandi junub dan masih tetap berpuasa.
Begitu pula wanita haidh dan nifas, jika mereka telah suci di malam hari dan ia belum mandi melainkan setelah masuk Shubuh, maka seperti itu tidak mengapa. Jika mereka berpuasa, puasanya tetap sah. Namun tidak boleh bagi mereka-mereka tadi menunda mandi wajib (mandi junub) dan menunda shalat hingga terbit matahari. Bahkan mereka harus menyegerakan mandi wajib sebelum terbit matahari agar mereka dapat mengerjakan shalat tepat pada waktunya.
Sedangkan bagi kaum pria, ia harus segera mandi wajib sebelum shalat Shubuh sehingga ia bisa melaksanakan shalat secara berjama’ah. Sedangkan untuk wanita haidh dan nifas yang ia suci di tengah malam (dan masih waktu Isya’, pen), maka hendaklah ia menyegerakan mandi wajib sehingga ia bisa melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ sekaligus di malam itu. Demikian fatwa sekelompok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula jika wanita haidh dan nifas suci di waktu ‘Ashar, maka wajib bagi mereka untuk segera mandi wajib sehingga mereka bisa melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar sebelum tenggelamnya matahari.
Wallahu waliyyut taufiq.
Demikian Fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.
***
Hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk shubuh dalam keadaan junub adalah sebagai berikut.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.
Istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.
Pelajaran yang bisa diambil dari fatwa di atas:
  1. Mimpi basah tidak membatalkan puasa karena bukan pilihan seseorang untuk mimpi basah.
  2. Jika mimpi basahnya setelah waktu Shubuh, maka orang yang junub boleh menunda mandi wajibnya hingga waktu Zhuhur.
  3. Jika junub karena mimpi basah atau hubungan intim dengan istri di malam hari, maka bagi pria yang wajib menunaikan shalat berjama’ah diharuskan segera mandi wajib sebelum pelaksanaan shalat Shubuh agar ia dapat menunaikan shalat Shubuh secara berjama’ah di masjid.
  4. Jika wanita suci di malam hari dan setelah berakhir waktu shalat isya’ (setelah pertengahan malam, maka ia boleh menunda mandi wajib hingga waktu Shubuh asalkan sebelum matahari terbit supaya ia dapat melaksanakn shalat Shubuh tepat waktu.
  5. Jika wanita haidh dan nifas suci di waktu Isya’ (sampai pertengahan malam), maka ia diharuskan segera mandi, lalu ia mengerjakan shalat Maghrib dan Isya’ sekaligus. Demikian fatwa sebagian sahabat. Begitu pula jika wanita haidh dan nifas suci di waktu Ashar, maka ia diharuskan segera mandi, lalu ia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus.
  6. Jika orang yang junub, wanita haidh dan nifas masuk waktu Shubuh dalam keadaan belum mandi wajib, maka mereka tetap sah melakukan puasa.
Mengenai permasalah wanita haidh dan nifas yang suci di waktu shalat kedua, seperti waktu Ashar dan Isya’ lantas ia diwajibkan mengerjakan dua shalat sekaligus (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’), insya Allah ada tulisan tersendiri mengenai hal ini. Semoga Allah mudahkan.



1 komentar: